Selasa, 01 Januari 2008

Kajian Religi – Hak Perempuan dalam Reproduksi

Anak menjadi kebanggaan dalam sebuah keluarga. Agama Islam memberikan kemulyaan bagi kedua orang tua yang mempunyai anak anak shalih dan shalihah, karena do’a dari mereka akan menjadi amal jariyah yang tidak pernah ada putus-putusnya. Pada jaman Jahiliyyah, anak menjadi kebanggaan bagi orang tua (khususnya anak laki-laki), bahkan setelah Islam datang orang Arab masih suka menyombongkan diri dengan harta dan anak yang banyak (Q.S. as-Saba’ (34) : 35).
Mempunyai anak tentu adalah sesuatu yang sangat didambakan oleh sebuah keluarga (pasangan suami istri). Walaupun adakalanya, karena kehendak Allah (taqdir), pasangan suami istri tidak mampu untuk memiliki anak. Apa karena salah satu dari keduanya atau kedua-duanya mandul, atau anak yang sudah lahir meninggal. Rasulullah sendiri dari perkawinan dengan istri-istrinya, hanya berhasil menurunkan keturunan dari seorang putrinya, yakni Fatimah. sementara putra-putra beliau yang lain tidak memberi keturunan, bahkan meninggal dunia waktu masih kecil.
Akan tetapi, dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, pasangan suami istri berkehendak untuk menunda kehamilan/kelahiran anak. Penulis menandang, bahwa persoalan tersebut dapat diselesaikan dengan tidak melakukan hubungan seksual, misalnya, atau dalam melakukan hubungan seksual dengan alat pencegah kehamilan (kontrasepsi). Tetapi yang yang menjadi persoalan krusial adalah siapakah yang berhak memutuskan untuk melakukan atau tidak rekayasa keturunan (anak) itu; suami atau istri, atau keduanya?
Terdapat setidaknya empat pendapat, seperti yang dikutip dari pendapat Syaikh Mahmûd Syaltut. Pertama, pendapat yang dikemukakan oleh al-Gazâli dari kalangan mazhab Syafi’i, mengatakan bahwa yang berhak memutuskan untuk punya anak (lagi) atau tidak adalah suami/ayah. Konsekwensinya, jika suami menghendaki anak, istri tidak berhak apa-apa selain menuruti kemauannya Dasarnya adalah ayat al-Qur’an sendiri yang menyebut anak sebagai milik bapak.29
Kedua, pendapat yang banyak dianut oleh ulama Hanafiah mengatakan bahwa yang berhak menentukan apakah akan mempunyai anak atau tidak adalah keduanya, suami dan istri. Dasarnya adalah bahwa soal anak tidak mungkin terwujud tanpa partisipasi dari kedua belah pihak. Asal usulnya pun berakar dari sperma suami dan ovum istri. Hadis Rasulullah yang mewajibkan anak untuk melipatgandakan baktinya kepada kedua orang tua, bahkan terutama ibu, bisa menguatkan pendapat ini. Dengan demikian untuk punya anakn atau tidak, pendapat berdualah yang berbicara, terutama istri.
Ketiga, bahwa menentukan keturunan bukan hanya hak suami istri, melainkan juga umat/masyarakat dengan penekanan kepada keputusan suami istri. Kalangan ulama Hambali dan sebaian ulama syafi’iyah menganut pendapat seperti ini. Artinya, kebutuhan akan kemaslahatan masyarakat perlu diperhitungkan bagi pasangan suami istri untuk menentukan apakah akan merekayasa (membuat atau membatasi) keturunan atau tidak.
Keempat, yang banyak dianut oleh ahli hadis, hampir sama dengan pendapat ketiga, tetapi dengan titik berat kepada pertimbangan kemaslahatan umat/masyarakat. Artinya, meskipun pasangan suami istri menghendaki atau tidak keturunan/anak akan tetapi kemaslahatan umum memutuskan lain, maka yang harus dimenangkan adalah kemaslahatan umum tersebut.30
Dalam kondisi masyarakat dewasa ini, penulis cenderung kapada pendapat yang ketiga. Dalam arti bahwa urusan kelahiran adalah semata-mata urusan keluarga (suami istri), lebih khusus lagi adalah urusan istri, karena dialah yang pihak yang paling bersangkutan dengan masalah kehamilan dan kelahiran. Akan tetapi dalam keadaan tertentu, negara berhak melakukan intervensi dengan pertimbangan-pertimbangan kemaslahatan umum.31
Mahmûd Saltut berpendapat, bahwa kalau program KB itu dimaksudkan sebagai usaha pembatasan anak, dalam jumlah tertentu, misalnya hanya tiga anak untuk setiap keluarga dalam segala situasi dan kondisi tanpa kecuali, maka hal tersebut bertentangan dengan syari’at Islam, hukum alam dan hikmah Allah menciptakan manusia di tengah-tengah alam semesta ini agar berkembang biak dan dapat memanfaatkan karunia Allah yang ada di alam semesta ini untuk kesejahteraan hidupnya. Tetapi jika program KB itu dimaksudkan sebagai usaha pengaturan/panjarangan kelahiran, atau mencegah usaha kehamilan sementara atau untuk selamanya, sehubungan dengan situasi dan kondisi khusus, baik untuk kepentingan keluarga yang bersangkutan, masyarakat dan negara, tidak dilarang oleh agama. misalnya suami dan atau istri menderita penyakit berbahaya yang bisa menurun kepada keturunannya.32
Pendapat Saltut tersebut yang banyak diikuti oleh ulama Indonesia dalam hal program Keluarga Berencana (KB). Walaupun sebenarnya pemerintah dalam program KB-nya cenderung pula untuk membatasi jumlah anak dalam satu keluarga, bahkan kurang dari tiga. Dan penulis dalam memandang persolan tersebut lebih suka diserahkan kepada masing-masing individu, apakah mau menerima atau tidak. Bisa dikatakan bahwa itu masuk dalam kategori ijtihad fardi, masalah-masalah yang bisa dilakukan ijtihad secara individu/sendiri.
Penulis berpendirian bahwa istri memiliki hak untuk mengatur hamil/kelahiran dan suami harus menghormati itu sebagai jaminanya atas keselamatan dan kesehatan istrinya. Selanjutnya pembahasan tentang perawatan anak. Pertanyaan mendasar yang timbul adalah, siapa yang berkewajiban penuh dalam perawatan anak? Ibu, yang dalam pandangan stereotype adalah makhluk domestik, sehingga urusan rumah tangga termasuk merawat anak adalah bebannya? atau Ayah, yang secara normatif dipandang al-Qur’an sebagai pemilik anak? atau kedua-duanya, sebagai tanggung jawab kolektif di dalam rumah tangga. Jika pilihannya adalah yang ketiga (ayah dan ibu bertanggung jawab secara seimbang dan adil), bagaimana mekanisme yang harus dijalankan? bukankah ayah adalah penanggung jawab nafkah keluarga, sehingga tentu sibuk dengan peran-peran publik?
Dalam pandangan fiqih konvensional, penisbahan anak adalah sepenuhnya kepada ayahnya, termasuk dalam soal perawatan, ayahlah yang paling bertanggung jawab. Walaupun sekarang setelah masyarakat mengalami transformasi, pandangan sentralisme anak kepada ayahnya sedikit bergeser. Peran ibu menjadi signifikan dalam hal ini, dan ini berkaitan dengan tugas reproduksi pada diri ibu yang tidak bisa digantikan oleh suami manapun.33 Sehingga secara spikologis anak cenderung lebih dekat kepada ibu, dan adalah salah paham juga ketika fenomena seperti ini dipakai sebagai alasan bagi seorang ayah untuk tidak mau tahu terhadap urusan anak.34
Al-Qur’an memberikan hak kepada kedua orang tua terhadap anaknya secara sama untuk melimpahkan perasaan kasih sayangnya. Ibu, misalnya, dia diberi hak oleh Allah untuk melakukan pekerjaan menyusui anaknya, sebagaimana yang Dia firmankan dalam al-Qur’an: 35
Imam malik berpendapat, kewajiban menyusui anak bagi ibu lebih merupakan kewajiban moral (dinyatakan) dari pada kewajiban formal (legal). Artinya kalau ibu tidak mau melakukanya, suami atau pengadilan sekalipun tidak berhak untuk memaksanya. Senada dengan imam Malik, para ulama dari kalangan mazhab Hanafi, Syafi’i, Hambali dan sebagian pengikut Maliki berpendapat, bahwa menyusui anak oleh sang ibu itu hanya bersifat mandub (sebaiknya). Kecuali kalau si anak menolak susuan selain susu ibu, atau ayah tidak sanggup membayar upah ibu susuan, maka menjadi wajib bagi ibu untuk menyusuinya.36
Ketentuan formal fiqih yang “membebaskan’ ibu dari kewajiban menyusui, lebih dimaknainya sebagai penghormatan yang begitu tinggi terhadap ibu, yang secara empiris menanggung beban reproduksi yang begitu berat. Walaupun realitas di dalam masyarakat tidak memungkinkan, misalnya, seorang ibu tega untuk tidak menyusui anaknya selama dia mampu.
Yang penting, bahwa beban perawatan anak dibebankan secara kolektif antara ibu dan ayah. Jangan sampai satu pihak merasa lebih diberatkan daripada yang lainnya. Ibu karena secara kodrati mempunyai kemampuan untuk menyusui, maka tugas itu dalam bidang ibu, sementara ayah harus mengambil alih tugas-tugas perawatan yang lain. Jadi tidak semua dikerjakan oleh ibu sementara ayah tidak mau tahu dengan alasan apapun.
Sebagai perbandingan akan penyusun sampaikan pendapat Amina Wadud Muhsin,seorang feminis dari Malaysia dalam hal ini :
Kecenderungan yang selalu terjadi untuk menyerahkan segaka bentuk pengasuhan anak - dan selanjutnya semua pekerjaan rumah - bagi para wanita. Meskipun pembagian ini cocok bagi sebagian keluarga, namun juka sang ayah mencari nafkah di luar rumah untuk mencukupi kebutuhan material keluarganya, tetapi itu bukanlah jalan keluar dan tidak disebutkan secara eksplisit dalan al-Qur’an.
Dalam keluarga yang suami dan istri keduanya sama-sama menanggung beban emncari nafkah guna mencukupi kebutuhan keluarga, adalah tidak adil jika hanya wanita saja yang harus mengurus semua pekerjaan rumah. Jika wanita berusaha meningkatkan amal salehnya, maka terdapat kesempatanserupa bagi kaum pria untuk meningkatkan partisipasinya lebih banyak lewat pekerjaan rumah dan mengasuh anak. Di samping itu sistem penilaian al-Qur’an terhadap amal saleh tidak memandang apakah laki-laki atau perempuan yang melakukannya : “ Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh baik ia laki-laki atau perempuan sedang ia orang beriman, maka mereka itu masuk surga … ( Q.S. 4 4: 124)
Sistem kerjasama yang fleksibel, terpadu dan dinamis dari kerjasama saling menguntungkan seperti itu amat sangat bermanfaat dalam berbagai ragam masyarakat dan keluarga.37
Dalam keadaan normal, keluarga masih utuh (tidak terjadi perceraian), sistem pembagian kerja yang proporsional antara ayah dan ibu dapat dilaksanakan demikian. Tetapi bagaimana jika dalam keluarga tersebut terjadi perceraian, dimana seorang ayah berpisah dengan istrinya. Siapa yang paling berhak dalam melakukan perawatan terhadap anak ?
Dalam kasus demikian, ibulah yang memiliki hak pertama-tama merawat anak. Alasannya adalah, pertama, karena sebagi ibu ikatan batindan kasih sayang dengan anak cenderung selalu melebihi kasih sayang sang ayah. Kedua, derita keterpisahan seorang ibu dengan anaknya akan terasa lebih berat dibanding derita keterpisahan seorang ayah. Ketiga, sentuhan tangan keibuan yang lazimnya dimiliki oleh ibu akan lebih menjamin pertumbuhan mentalitas anak secara lebih sehat.
Tentang biaya perawatan, yang terdiri atas makanan, pakaian, obat-obatan, dan kebutuhan-kebutuhan lain, termasuk di dalamnya biaya pembantui dalam merawat anak dan biaya pendidikan tetap menjadi tanggung jawab ayah.
Hikmah lebih luas atas pembagian tugas secara adil tersebut antara lain adalah terbukanya kesempatan bagi perempuan (istri) untuk mengembangkan potensinya lewat kiprahnya dalam kehidupan sosial. Apakah di bidang sosial, ekonomi, keagamaan, politik, budaya dan bidang-bidang lainnya. Dengan demikian runtuhlah mitos yang mengatakan bahwa perempuan adalah makhluk domestik yang terpuruk hanya dalam dinding rumahnya, bahkan tidak jarang hanya sebatas ruang-ruang dapur dan kamar tidurnya.
Sumber : Hak-hak perempuan dalam perkawinan:Perspektif kesetaraan laki-laki dan perempuan Dalam Islam *), Oleh : Anjar Nugroho, S.Ag., MSI **)
*) Makalah disampaikan dalam acara TOT yang diselenggarakan oleh PD NA Kab. Banyumas pada tanggal 15 April 2007 di Panti Asuhan Putri Muhammadiyah.
**) Penulis adalah staf pengajar Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Ymt. Ketua Majlis Tarjih dan Tajdid PDM Banyumas
REFERENSI
29 Al-Baqarah (2) : 233
30 Masdar Farid Mas’udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi …, hlm. 124-125
31 Program Keluarga Berencana (KB) di Inonesia adalah bentuk intervensi negara dalam urusan pengaturan jumlah keluarga. Perdebatan para ulama tentang KB sempat ramai pada awal-awal pencanangan program tersebut bahkan sampai sekarang. sebaliknya di Singapura, bukan program pembatasan kelahiran, tetapi malahan program memperbanyak keturunan.
32 Mahmûd Saltut, Al-Fatâwâ, (Mesir : Dâr al-Qalam, t.t.), hlm. 294-297
33 Ibid., hlm. 145
34 Sistem yang umum diterapkan sebagian besar masyarakat telah mennetukan bahwa kewajiban merawat anak lebih tepat dilakukan oleh kaum perempuan (istri). Kecenderungan akan hal ini dalam berbagai keluarga dan banyaknya wanita yang memiliki sifat feminin dan cenderung suka mengasuh, telah menguatkan ketentuan buatan laki-laki. Dan menjadikan kewajiban merawat anak seolah-olah kewajiban yang melekat (hakiki) pada perempuan (istri). Amina W. Muhsin, Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam Al-Qur’an, Alih bahasa oleh Yaziar Radianti, (Bandung : Pustaka, cet I, 1994) , hlm. 121
35 Al-Baqarah (2) : 233
36 Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adilatuhu, (Damaskus : Dâr al- Fikr, 1989), hlm. 699
37 Amina W.Muhsin, Wanita di dalam al-Qur’an, …, hlm. 121-122
Available on : www.pemikiranislam.wordpress.com/ desember 2007


Kesehatan Reproduksi & HIV/AIDS
Kunjungi grup ini








height=26 width=132 alt="Google Groups">

Kesehatan Reproduksi & HIV/AIDS
Kunjungi grup ini

Tidak ada komentar: