Profil
Buat Lencana Anda
Selasa, 07 April 2009
Selasa, 12 Agustus 2008
Wanita yang sedang mengandung disarankan untuk tidak bekerja dengan sistem shift. Hasil penelitian tim yang dikepalai oleh Dr. Lisa A. Pompeii dari `the University of North Carolina`, Chapel Hill (AS) menyebut bahwa wanita hamil yang bekerja secara shift akan berisko melahirkan bayi prematur.
Untuk bisa memaparkan hasil studinya itu, Dr Pompeii dan rekan-rekanya melakukan penelitian atas 1900 wanita hamil di North Carolina. Kepada para wanita hamil ini Dr Pompeii melakukan wawancara bagaimana kondisi tempat mereka bekerja selama 7 bulan masa kehamilan. Satu hal yang penting wanita yang bekerja antara 10 p.m dan 7 a.m. setiap harinya malah akan mendapatkan resiko kelahiran prematur. Sebagai contoh wanita yang kerja secara shfit malam hari dalam tiga bulan pertama akan memiliki potensi 50 persen melahirkan secara prematur. Untuk kejadian yang terakhir, Dr Pompeii tidak memiliki alasan yang jelas.
Salah satu kemungkinan adalah aktifitas pekerjaan malam akan merubah uterus yang memang akan aktif pada malam hari. Kemungkinan lain adalah soal waktu tubuh yang membuat aktifitas uterus berjalan tidak pada semestinya.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2003, pekerja di Indonesia mencapai 100.316.007 dimana 64,63% pekerja laki-laki dan 35,37% pekerja wanita. Wanita yang bekerja sesungguhnya merupakan arus utama di banyak industri. Mereka diperlakukan sama dari beberapa segi, hanya dari segi riwayat kesehatan mereka seharusnya diperlakukan berbeda dengan laki-laki dalam hal pelayanan kesehatan. Pekerja wanita dituntut untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas kerja secara maksimal, tanpa mengabaikan kodratnya sebagai wanita.
Negara kita masih juga mempekerjakan bumil juga busui pada malam hari/ sistem shift (seperti di Rumah Sakit, perusahaan produksi) padahal untuk mendukung Deklarasi Innocenti 1990 (Italia) tentang perlindungan, promosi dan dukungan terhadap pemberian ASI, telah dilaksanakan beberapa kegiatan penting, yakni pencanangan Gerakan Nasional PP-ASI ole Bp. Presiden pada tahun 1990, Gerakan Rumah Sakit dan Puskesmas Sayang Bayi yang telah menghasilkan sekitar 50-70% rumah sakit sayang bayi pada RS pemerintah dan sekitar10 - 20% pada RS swasta. Oleh karena itu salah satu yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana ibu yang bekerja dapat tetap memberikan ASI kepada bayinya secara eksklusif sampai 6 (enam) bulan dan dapat dilanjutkan sampai anak berumur 2(dua) tahun. Sehubungan dengan hal tersebut telah ditetapkan dengan Kepmenkes RI No. 450/MENKES/IV/2004 tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif pada bayi Indonesia. Program Peningkatan Pemberian ASI (PP- ASI) khususnya ASI eksklusif mempunyai dampak yang luas terhadap status gizi ibu dan bayi.
Pada Pekan ASI Sedunia tahun 1993 diperingati dengan tema Mother Friendly Workplace atau Tempat Kerja Sayang Bayi, menunjukan bahwa adanya perhatian dunia terhadap peran ganda ibu menyusui dan bekerja.
Bagaimana kwalitas generasi mendatang bila Ibu Hamil & menyusui masih dipekerjakan pada malam hari/sistem shift?
HAL tsb merupakan problem yang mengancam kwalitas daya saing bangsa kita dengan internasional. Relakah anda? bagaimana kita melakukan advokasi?
Untuk bisa memaparkan hasil studinya itu, Dr Pompeii dan rekan-rekanya melakukan penelitian atas 1900 wanita hamil di North Carolina. Kepada para wanita hamil ini Dr Pompeii melakukan wawancara bagaimana kondisi tempat mereka bekerja selama 7 bulan masa kehamilan. Satu hal yang penting wanita yang bekerja antara 10 p.m dan 7 a.m. setiap harinya malah akan mendapatkan resiko kelahiran prematur. Sebagai contoh wanita yang kerja secara shfit malam hari dalam tiga bulan pertama akan memiliki potensi 50 persen melahirkan secara prematur. Untuk kejadian yang terakhir, Dr Pompeii tidak memiliki alasan yang jelas.
Salah satu kemungkinan adalah aktifitas pekerjaan malam akan merubah uterus yang memang akan aktif pada malam hari. Kemungkinan lain adalah soal waktu tubuh yang membuat aktifitas uterus berjalan tidak pada semestinya.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2003, pekerja di Indonesia mencapai 100.316.007 dimana 64,63% pekerja laki-laki dan 35,37% pekerja wanita. Wanita yang bekerja sesungguhnya merupakan arus utama di banyak industri. Mereka diperlakukan sama dari beberapa segi, hanya dari segi riwayat kesehatan mereka seharusnya diperlakukan berbeda dengan laki-laki dalam hal pelayanan kesehatan. Pekerja wanita dituntut untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas kerja secara maksimal, tanpa mengabaikan kodratnya sebagai wanita.
Negara kita masih juga mempekerjakan bumil juga busui pada malam hari/ sistem shift (seperti di Rumah Sakit, perusahaan produksi) padahal untuk mendukung Deklarasi Innocenti 1990 (Italia) tentang perlindungan, promosi dan dukungan terhadap pemberian ASI, telah dilaksanakan beberapa kegiatan penting, yakni pencanangan Gerakan Nasional PP-ASI ole Bp. Presiden pada tahun 1990, Gerakan Rumah Sakit dan Puskesmas Sayang Bayi yang telah menghasilkan sekitar 50-70% rumah sakit sayang bayi pada RS pemerintah dan sekitar10 - 20% pada RS swasta. Oleh karena itu salah satu yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana ibu yang bekerja dapat tetap memberikan ASI kepada bayinya secara eksklusif sampai 6 (enam) bulan dan dapat dilanjutkan sampai anak berumur 2(dua) tahun. Sehubungan dengan hal tersebut telah ditetapkan dengan Kepmenkes RI No. 450/MENKES/IV/2004 tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif pada bayi Indonesia. Program Peningkatan Pemberian ASI (PP- ASI) khususnya ASI eksklusif mempunyai dampak yang luas terhadap status gizi ibu dan bayi.
Pada Pekan ASI Sedunia tahun 1993 diperingati dengan tema Mother Friendly Workplace atau Tempat Kerja Sayang Bayi, menunjukan bahwa adanya perhatian dunia terhadap peran ganda ibu menyusui dan bekerja.
Bagaimana kwalitas generasi mendatang bila Ibu Hamil & menyusui masih dipekerjakan pada malam hari/sistem shift?
HAL tsb merupakan problem yang mengancam kwalitas daya saing bangsa kita dengan internasional. Relakah anda? bagaimana kita melakukan advokasi?
Rabu, 11 Juni 2008
Kemana Arahmu?
Semua begitu terasa cepat berlalu...
sang waktu tak lelah terus bergulir
terus membenturkan kita pada berbagai tantangan..
Dinamika kehidupan penuh warna yang kadang membuat kita tersenyum dengan bangga,
Tertawa lepas karna gurauan sahabat, atau kadang sedih merintih, merasa hampa dan kadang Rasa rindu pada seorang yang entah dimana atau belum kita temukan...
Saat ku termangu dalam rinduku..
Melantunkan pujian berujung doa hingga tersungkur memohon tuk dapatkan cinta-Mu
Duhai.. Penguasa semesta terimalah rinduku pada-Mu..
sang waktu tak lelah terus bergulir
terus membenturkan kita pada berbagai tantangan..
Dinamika kehidupan penuh warna yang kadang membuat kita tersenyum dengan bangga,
Tertawa lepas karna gurauan sahabat, atau kadang sedih merintih, merasa hampa dan kadang Rasa rindu pada seorang yang entah dimana atau belum kita temukan...
Saat ku termangu dalam rinduku..
Melantunkan pujian berujung doa hingga tersungkur memohon tuk dapatkan cinta-Mu
Duhai.. Penguasa semesta terimalah rinduku pada-Mu..
Senin, 07 Januari 2008
Sperma Vs Ponsel
Penggunaan telepon genggam yang berlebihan bisa mengganggu kesuburan pria, hasil studi di Amerika itu mengatakan pria yang menggunakan ponsel selama empat jam atau lebih setiap harinya memiliki jumlah sperma yang lebih sedikit dan lebih rendah kualitasnya.
Penelitian di Ohio ini dilakukan atas 364 pria dan hasilnya diajukan ke Badan Bagi Pengobatan Reproduksi di New Orleans.
'Dipakai tanpa berpikir lagi'
Ashok Agarwal, uang mengepalai penelitian ini, mengatakan studi ini tidak membuktikan bahwa telepon selular merusak kesuburan, tetapi menyatakan penelitian ini patut dipertimbangkan.
"Ada penurunan yang signifikan dalam hal kesehatan sperma dan ini sudah jelas mempengaruhi kesuburan."
"Orang memakai ponsel mereka tanpa berpikir dua kali apa dampaknya nanti."
"Mereka menganggap ini sama dengan menggunakan sikat gigi, tetapi ponsel bisa berdampak buruk bagi kesuburan."
"Studi ini masih harus dibuktikan lebih lanjut, tetapi ini penting karena HP sudah menjadi bagian dari kehidupan kita." Dia mengatakan radiasi dari telepon selular mungkin dapat merusak DNA pada sperma, dan mempengaruhi sel di testis yang memproduksi hormon testosteron atau saluran tempat sperma dihasilkan.
Namun seorang pakar di Inggris meragukan hasil penelitian ini.
Allan Pacey, pakar andrologi di Universitas Sheffield, mengatakan: "Ini adalah studi yang bagus, tetapi menurut saya kurang tepat sasaran."
"Jika Anda memakai HP selama empat jam sehari, telepon Anda cukup lama jauh dari kantong celana atau jaket."
"Ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana kerusakan pada testis bisa terjadi?"
Pacey, yang juga pejabat di Lembaga Kesuburan Inggris, menambahkan: "Jika Anda menggenggam HP di samping kepala Anda, mengapa efeknya justru ke testis Anda?"Dia menambahkan mereka yang cenderung menggunakan HP lebih lama, menghadapi lebih banyak stres atau makan lebih banyak makanan cepat saji, yang mungkin lebih menjelaskan kaitan yang ditemukan di studi ini.
Penelitian di Ohio ini dilakukan atas 364 pria dan hasilnya diajukan ke Badan Bagi Pengobatan Reproduksi di New Orleans.
Namun seorang pakar di Inggris mengatakan kemungkinan kecil gangguan kesuburan itu disebabkan oleh pemakaian telepon selular, karena pemakaiannya jauh dari testis, dan mungkin dampaknya tidak langsung.
Tim dari Lembaga Klinis Cleveland di Ohio menguji sperma dari 364 pria yang mendapat perawatan kesuburan di beberapa klinik di Mumbai, India. Studi itu menemukan bahwa para pria yang memakai ponsel lebih dari empat jam sehari memiliki hitungan sperma paling rendah, sekitar 50 juta per mililiter dan kualitasnya paling tidak sehat. Pria yang menggunakan telepon genggam mereka antara dua dan empat jam setiap harinya memiliki hitungan sperma 69 juta per mililiter dan kualitasnya cukup sehat. Mereka yang mengatakan tidak memakai HP sama sekali memiliki hitungan sperma paling banyak, yaitu 86 juta per mililiter, dan sperma mereka adalah yang berkualitas terbaik.
Tim dari Lembaga Klinis Cleveland di Ohio menguji sperma dari 364 pria yang mendapat perawatan kesuburan di beberapa klinik di Mumbai, India. Studi itu menemukan bahwa para pria yang memakai ponsel lebih dari empat jam sehari memiliki hitungan sperma paling rendah, sekitar 50 juta per mililiter dan kualitasnya paling tidak sehat. Pria yang menggunakan telepon genggam mereka antara dua dan empat jam setiap harinya memiliki hitungan sperma 69 juta per mililiter dan kualitasnya cukup sehat. Mereka yang mengatakan tidak memakai HP sama sekali memiliki hitungan sperma paling banyak, yaitu 86 juta per mililiter, dan sperma mereka adalah yang berkualitas terbaik.
'Dipakai tanpa berpikir lagi'
Ashok Agarwal, uang mengepalai penelitian ini, mengatakan studi ini tidak membuktikan bahwa telepon selular merusak kesuburan, tetapi menyatakan penelitian ini patut dipertimbangkan.
"Ada penurunan yang signifikan dalam hal kesehatan sperma dan ini sudah jelas mempengaruhi kesuburan."
"Orang memakai ponsel mereka tanpa berpikir dua kali apa dampaknya nanti."
"Mereka menganggap ini sama dengan menggunakan sikat gigi, tetapi ponsel bisa berdampak buruk bagi kesuburan."
"Studi ini masih harus dibuktikan lebih lanjut, tetapi ini penting karena HP sudah menjadi bagian dari kehidupan kita." Dia mengatakan radiasi dari telepon selular mungkin dapat merusak DNA pada sperma, dan mempengaruhi sel di testis yang memproduksi hormon testosteron atau saluran tempat sperma dihasilkan.
Namun seorang pakar di Inggris meragukan hasil penelitian ini.
Allan Pacey, pakar andrologi di Universitas Sheffield, mengatakan: "Ini adalah studi yang bagus, tetapi menurut saya kurang tepat sasaran."
"Jika Anda memakai HP selama empat jam sehari, telepon Anda cukup lama jauh dari kantong celana atau jaket."
"Ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana kerusakan pada testis bisa terjadi?"
Pacey, yang juga pejabat di Lembaga Kesuburan Inggris, menambahkan: "Jika Anda menggenggam HP di samping kepala Anda, mengapa efeknya justru ke testis Anda?"Dia menambahkan mereka yang cenderung menggunakan HP lebih lama, menghadapi lebih banyak stres atau makan lebih banyak makanan cepat saji, yang mungkin lebih menjelaskan kaitan yang ditemukan di studi ini.
Keamanan Kafein dalam Kehamilan
Penelitian-penelitian mengenai pengaruh kopi pada kehamilan saat ini masih memberikan hasil yang beragam, ada yang mengatakan efeknya buruk, sebagian mengatakan tidak ada pengaruhnya. Yang umumnya diteliti adalah efek kopi terhadap keguguran, kelahiran prematur, dan berat lahir bayi yang rendah.
Senyawa dalam kopi yang dianggap berpengaruh pada kehamilan adalah kafein. Namun perlu diingat, selain kopi, kafein juga terkandung dalam cokelat, teh, dan kola. Kafein juga sering dicampurkan dengan beberapa jenis obat, seperti obat flu, antinyeri, perangsang nafsu makan, dan lain-lain.
Hal yang banyak muncul dari penelitian mengenai pengaruh kopi pada kehamilan adalah efeknya terhadap keguguran dan berat janin meningkat sesuai dengan bertambahnya dosis kafein. Oleh karena itu, maka para ahli menganjurkan untuk menghentikan atau setidaknya mengurangi dosis kopi yang diminum.
Dosis kopi yang dianggap 'aman' adalah 300 mg kafein per hari. Satu cangkir kopi dianggap rata-rata mengandung 100 mg per hari. Namun, harus hati-hati dengan anggapan ini. Seringkali penggemar kopi menyukai kopi yang kental, sehingga jumlah kafeinnya per gelas akan lebih banyak. Selain itu, tergantung ukuran gelasnya, jika menggunakan mug tentu lebih banyak dari cangkir.
Harus diingat pula, bahwa minum kopi juga dapat menurunkan penyerapan terhadap sejumlah mineral yang penting dalam kehamilan, seperti kalsium dan besi.
Maka, untuk praktisnya, sebaiknya Anda hanya minum kopi secangkir sehari. Karena selain mungkin secangkir kopi yang Anda minum kandungan kafeinnya lebih dari 100 mg, Anda juga mungkin makan/minum sumber kafein lain selama hamil, misalnya cokelat. Kalau bisa, minum kopinya tidak usah setiap hari.
( )www.republika.co.id
Senyawa dalam kopi yang dianggap berpengaruh pada kehamilan adalah kafein. Namun perlu diingat, selain kopi, kafein juga terkandung dalam cokelat, teh, dan kola. Kafein juga sering dicampurkan dengan beberapa jenis obat, seperti obat flu, antinyeri, perangsang nafsu makan, dan lain-lain.
Hal yang banyak muncul dari penelitian mengenai pengaruh kopi pada kehamilan adalah efeknya terhadap keguguran dan berat janin meningkat sesuai dengan bertambahnya dosis kafein. Oleh karena itu, maka para ahli menganjurkan untuk menghentikan atau setidaknya mengurangi dosis kopi yang diminum.
Dosis kopi yang dianggap 'aman' adalah 300 mg kafein per hari. Satu cangkir kopi dianggap rata-rata mengandung 100 mg per hari. Namun, harus hati-hati dengan anggapan ini. Seringkali penggemar kopi menyukai kopi yang kental, sehingga jumlah kafeinnya per gelas akan lebih banyak. Selain itu, tergantung ukuran gelasnya, jika menggunakan mug tentu lebih banyak dari cangkir.
Harus diingat pula, bahwa minum kopi juga dapat menurunkan penyerapan terhadap sejumlah mineral yang penting dalam kehamilan, seperti kalsium dan besi.
Maka, untuk praktisnya, sebaiknya Anda hanya minum kopi secangkir sehari. Karena selain mungkin secangkir kopi yang Anda minum kandungan kafeinnya lebih dari 100 mg, Anda juga mungkin makan/minum sumber kafein lain selama hamil, misalnya cokelat. Kalau bisa, minum kopinya tidak usah setiap hari.
( )www.republika.co.id
Rabu, 02 Januari 2008
DEVELOPING CAPACITY OF NURSES IN RESPONSE TO AIDS,TB & MALARIA EPIDEMIC
Indonesia
In general, nurses are caregivers, who help in early detection of
cases, provide IEC, collaborate in treatment programmes and help
empower the local community to control diseases.
Nurses/midwives provide patients, family and the community with
information and education on prevention and basic care of patients
with HIV/AIDS, TB and malaria. The role in advocacy is to safeguard
patients right to treatment and negotiate with authorities and
community leaders for support in the control of the abovementioned
diseases.
Concerning research nurses take part as investigators in
studies and research on HIV/AIDS, TB and malaria, and are
involved as team members in data processing and reporting of
research results and follow up plans.
The Indonesian government has initiated programmes on
HIV/AIDS. These activities are in the planning stage and are
expected to be implemented next year. The government has
arranged refresher courses on TB for nurses and midwives.
Standard procedures have been developed for nurses and midwives
at the health centre and sub health centre. There are plans to
conduct training of village midwives on early identification of cases
and the supervision of medication. They also plan to conduct
training of nurses and midwives in the management of TB cases.
The government will develop technical guidelines for health centres
on management of malaria. Training models will be developed for
nurses and midwives at the health centre level, and village
midwives in high-risk malaria areas.
Indonesia improves the skills of nursing and midwifery
through government programmes and through educational
institutions such as the Midwifery Academy and the Nursing
Academy, Community health nursing and care of communicable
diseases Included in the curricula. In the efforts to improve the
knowledge and skills of its members in the management of
HIV/AIDS, malaria and TB, the National Indonesian Nurse
Association has conducted several seminars and training events.
The Indonesian Midwives Association similarly conducts training
seminars in STD, malaria and TB for members.
It was concluded that HIV/AIDS, TB and malaria are community
health problems and the nurses and midwives are front line health
workers in the implementation of HIV/AIDS, TB and malaria control
programme, but they are not utilized/empowered to the
maximum. They play an important role in decreasing the morbidity
rate of HIV/AIDS, TB and malaria, because they are around
patients, families and in the local community. Nurses and midwives
need continuous training to improve knowledge and skills in new
methods to be able to better identify HIV/AIDS, TB and malaria
patients as well as in case management. The nurse/midwives need
training to improve skills in advocacy and in collaboration.
Based on the country reports, following is a summary of the
achievements, facilitating factors and issues in developing capacity
of nurses and midwives in response to HIV/AIDS epidemic and
resurgence of TB and malaria:
Main Achievements Active involvement of nursing/midwifery professional
association in national health programmes in a few
countries;
Availability of in-service education programmes (e.g.
seminar and workshops) for nurses and midwives on HIV/AIDS, infection control, IEC, counselling, DOTS and
Malaria in most countries
Availability of standard guidelines or protocols for nurses
and midwives on HIV/AIDS, home based care, DOTS and
malaria management;
Some successful experiences working with community,
people living with HIV/AIDS (PLWA) and other sectors (e.g.
establishment of self-help group);
Incorporation of HIV/AIDS, TB and malaria contents to a
certain extent, in pre-service (basic) nursing/midwifery
curriculum;
Availability of training modules for standardized education;
and
Increased sensitization and exposure of nurses and nursing
students to prophylactic and curative care of HIV/AIDS.
The Facilitating Factors Political commitment and support;
Recognition that HIV/AIDS is a crisis and thus support is
easily mobilized;
Greater input and resources in management of
nursing/midwifery workforce;
Policy direction for involvement of all care providers in
planning and implementation of HIV/AIDS, TB and malaria
programmes;
Membership of nurses in various subcommittees of the
National AIDS Committee;
Functional supervision and evaluation systems;
Availability of advanced or post-graduate education for
nurses and midwives;
Training of a core group of nurses/midwives in leadership
and development;
Use of standardized curriculum which would facilitate
nationwide planned changes;
Readiness to revise/update the curriculum; and
Use of model school approach to try out innovations in
nursing/midwifery education.
Issues and Constraints Limited involvement of nurses/midwives in policy
formulation and programme planning and management in
most countries;
Weak nursing/midwifery leadership who are unable to
participate in the decision-making, low assertiveness of
nurses and midwives keeping them from getting involved in
policy and programme formulation;
Ill informed nurse/midwives;
Inadequate dissemination of health policy;
The brain drain of nurse/midwives, lack of sanctioned
posts;
Insufficient coverage of HIV/AIDS, TB and malaria in nursing
and midwifery curriculum;
Lack of formal structure for collaboration between the
nursing/midwifery sector and national health programme,no established mechanisms for nursing/midwife expertise
involvement;
Ill prepared nurses/midwives lead to stigmatization of TB
and HIV/AIDS patients;
Inadequate opportunities for practical experiences to
nursing students e.g. not being allowed to do risky
procedures; and
Legal issues that need to be addressed for expanded roles
of nurses/midwives.
The Lessons Learnt Countries have different priority health problems and no
solution will be applicable to all countries.
The nurses/midwives have to go beyond curative care, they
have to provide comprehensive care (i.e., preventive,
promotive, curative and restorative care) in order to
enhance their contribution.
Existing education has not adequately prepared
nurses/midwives for comprehensive care.
There are some success stories (best practice and potential
best practices) that can be shared and promoted.
Best practice matrix must be developed and widely
disseminated to promote further application.
FIELD VISITS
Field visits were arranged to study nursing care for patients of
severe malaria as well as HIV/AIDS and for educational preparation
of nurses. Summary of the visits are provided below:
Hospital for Tropical Diseases, Faculty of Tropical Medicine,
Mahidol University
A field visit to the Hospital for Tropical Diseases was arranged to
study nursing care for severe malaria patients and educational
preparation of nurses. The participants were briefed by Professor
Polrat Wilairatana, Director, Hospital for Tropical Diseases on the
function of the Faculty and the Hospital for Tropical Diseases as
well as various aspects of malaria and management of the severe
malaria cases. Nurses were highly recognized as important
members of the health care team as well as of a research team in
this establishment. Nursing care activities at the ICU were also
presented by Ms Suparp Vannaphan, Head of ICU prior to a visit to
the ward.
The Faculty of Tropical Medicine is, apart from the research
activities, also engaged in master and doctorate educational
programmes and short training courses for health personnel at
national and international levels.
A visit was paid to the ICU for severe malaria and the wards
for uncomplicated malaria cases. The hospital is getting patients
mainly from outside Bangkok from malaria-infested areas. The
patients are enrolled in research programme, which means that
they are admitted for a full month for a study free of charge.
Bamrasnaradul Infectious Diseases Hospital
A visit was arranged to Bamrasnaradul Infectious Diseases Hospital
to study nursing care of HIV/AIDS patients and educational
preparation of nurses and midwives. The participants were briefed
about the hospital and its functions by the director of the hospital.
Processes and educational preparation to equip the nurses and
midwives to deal with HIV/AIDS patients were presented by Ms
Yaowarat Inthong, Senior Nurse Administrator. A visit was then
made to a few HIV/AIDS Units including day care centre.
The hospital was established in 1987 and consists of various
facilities to assist HIV/AIDS patients ranging from in-hospital
service, ambulatory care unit, laboratory services, counselling
service (individual, group counselling, family counselling) and day
care centre where patients and families can get advice on AIDS.
Candlelight for Life’s Club was established to provide opportunities
for people with HIV to share experiences and information on
HIV/AIDS. A research centre in the hospital supports and promotes
research to enhance development of care and treatment. The
research to date has been in the clinical, laboratory and nursing
care fields. The hospital provides training courses to support
professional staff at all levels in order to increase their knowledge,
skills and confidence in the care and treatment of HIV/AIDS.
Nursing service in Bamrasnaradul Hospital is provided as
comprehensive care and the systematic care. Patients are triaged or
screening by triage nurses (nurse practitioners with skills and
expertise in care of complicated HIV/AIDS cases, through formal
training). And care is provided accordingly. A triage nurse is capable of carrying out some medical interventions. Standard
precaution is implemented by the staff to prevent occupational
exposure to HIV.
Reflections on Lessons Learnt from Field Visits
(a) Hospital for Tropical DiseasesSEA-CD-125
It was a very impressive hospital with well-trained nursing staff.
The hospital was well equipped both technically and staff wise and
the environment was clean. The hospital did not do much in health
promotion for the prevention of malaria.
It was noted that the nurse in charge of the ICU for severe
malaria had a very heavy workload, so did other nursing staff, but
they were very competent in handling technical equipment and in
following the vital signs of each individual patient. Real partnership
between medical doctors and the nurses was observed in the care
for patients. There was also ongoing joint research. The patient
nurse ratio at the ICU was 1:1. The ratio in a general ward is
around 1:4-5 nurses. The group found that supply and equipment
and the good working environment was very conducive for the
provision of quality care of the patients. Good ventilation and clean
environment was noted and there was ongoing in-service
education for skills development and hand on experiences. The
nursing records were observed and it was found that it could have
been more comprehensive. The nurses had no role in health
promotion on the prevention of malaria.
(b)Mrasnaradul Hospital
This hospital was found to have a very well organised VCT service,
it was also observed that there was a good patient/nurse ratio, a
clean and good environment for provision of quality nursing care.
The hospital conducted ongoing research with other universities
and interested partners with involvement of the nursing staff. The
team concluded that there was adequate ventilation in the TB ward;
patients and nurses used different masks. The nurses only
changed mask every 3-4 days probably due to the cost of masks.
The team was not sure whether confidentiality was practised in the
in-patient unit, because the patients in the ward seemed surprised
when the team entered. No curtains around beds were pulled and it
was unclear whether patients had given their consent to the visit.
Issues on attitude towards the patient and whether psychological
support was extended to in-patients were discussed. It was
observed that the nutritional condition of the patients should be
looked into although the majority of patients were in the terminal
stages of AIDS.
The nurses received in-service education e.g. TB. Questions
arose on whether policies to protect staff e.g. post exposure
prophylactic treatment and support to staff were put in place. It
was obvious from the presentation that nurses master a
multiplicity of roles, such as being involved in policies, as nurse
counsellor, nurse practitioner, and image nurse. The nurse
practitioners helped in reducing not only the doctor’s workload,
but also in contributing to efficient care. The general conclusion
was that Thailand managed to increase competencies for nurses to
respond to HIV/AIDS very well.
Selasa, 01 Januari 2008
Kajian Religi – Hak Perempuan dalam Reproduksi
Anak menjadi kebanggaan dalam sebuah keluarga. Agama Islam memberikan kemulyaan bagi kedua orang tua yang mempunyai anak anak shalih dan shalihah, karena do’a dari mereka akan menjadi amal jariyah yang tidak pernah ada putus-putusnya. Pada jaman Jahiliyyah, anak menjadi kebanggaan bagi orang tua (khususnya anak laki-laki), bahkan setelah Islam datang orang Arab masih suka menyombongkan diri dengan harta dan anak yang banyak (Q.S. as-Saba’ (34) : 35).
Mempunyai anak tentu adalah sesuatu yang sangat didambakan oleh sebuah keluarga (pasangan suami istri). Walaupun adakalanya, karena kehendak Allah (taqdir), pasangan suami istri tidak mampu untuk memiliki anak. Apa karena salah satu dari keduanya atau kedua-duanya mandul, atau anak yang sudah lahir meninggal. Rasulullah sendiri dari perkawinan dengan istri-istrinya, hanya berhasil menurunkan keturunan dari seorang putrinya, yakni Fatimah. sementara putra-putra beliau yang lain tidak memberi keturunan, bahkan meninggal dunia waktu masih kecil.
Akan tetapi, dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, pasangan suami istri berkehendak untuk menunda kehamilan/kelahiran anak. Penulis menandang, bahwa persoalan tersebut dapat diselesaikan dengan tidak melakukan hubungan seksual, misalnya, atau dalam melakukan hubungan seksual dengan alat pencegah kehamilan (kontrasepsi). Tetapi yang yang menjadi persoalan krusial adalah siapakah yang berhak memutuskan untuk melakukan atau tidak rekayasa keturunan (anak) itu; suami atau istri, atau keduanya?
Terdapat setidaknya empat pendapat, seperti yang dikutip dari pendapat Syaikh Mahmûd Syaltut. Pertama, pendapat yang dikemukakan oleh al-Gazâli dari kalangan mazhab Syafi’i, mengatakan bahwa yang berhak memutuskan untuk punya anak (lagi) atau tidak adalah suami/ayah. Konsekwensinya, jika suami menghendaki anak, istri tidak berhak apa-apa selain menuruti kemauannya Dasarnya adalah ayat al-Qur’an sendiri yang menyebut anak sebagai milik bapak.29
Kedua, pendapat yang banyak dianut oleh ulama Hanafiah mengatakan bahwa yang berhak menentukan apakah akan mempunyai anak atau tidak adalah keduanya, suami dan istri. Dasarnya adalah bahwa soal anak tidak mungkin terwujud tanpa partisipasi dari kedua belah pihak. Asal usulnya pun berakar dari sperma suami dan ovum istri. Hadis Rasulullah yang mewajibkan anak untuk melipatgandakan baktinya kepada kedua orang tua, bahkan terutama ibu, bisa menguatkan pendapat ini. Dengan demikian untuk punya anakn atau tidak, pendapat berdualah yang berbicara, terutama istri.
Ketiga, bahwa menentukan keturunan bukan hanya hak suami istri, melainkan juga umat/masyarakat dengan penekanan kepada keputusan suami istri. Kalangan ulama Hambali dan sebaian ulama syafi’iyah menganut pendapat seperti ini. Artinya, kebutuhan akan kemaslahatan masyarakat perlu diperhitungkan bagi pasangan suami istri untuk menentukan apakah akan merekayasa (membuat atau membatasi) keturunan atau tidak.
Keempat, yang banyak dianut oleh ahli hadis, hampir sama dengan pendapat ketiga, tetapi dengan titik berat kepada pertimbangan kemaslahatan umat/masyarakat. Artinya, meskipun pasangan suami istri menghendaki atau tidak keturunan/anak akan tetapi kemaslahatan umum memutuskan lain, maka yang harus dimenangkan adalah kemaslahatan umum tersebut.30
Dalam kondisi masyarakat dewasa ini, penulis cenderung kapada pendapat yang ketiga. Dalam arti bahwa urusan kelahiran adalah semata-mata urusan keluarga (suami istri), lebih khusus lagi adalah urusan istri, karena dialah yang pihak yang paling bersangkutan dengan masalah kehamilan dan kelahiran. Akan tetapi dalam keadaan tertentu, negara berhak melakukan intervensi dengan pertimbangan-pertimbangan kemaslahatan umum.31
Mahmûd Saltut berpendapat, bahwa kalau program KB itu dimaksudkan sebagai usaha pembatasan anak, dalam jumlah tertentu, misalnya hanya tiga anak untuk setiap keluarga dalam segala situasi dan kondisi tanpa kecuali, maka hal tersebut bertentangan dengan syari’at Islam, hukum alam dan hikmah Allah menciptakan manusia di tengah-tengah alam semesta ini agar berkembang biak dan dapat memanfaatkan karunia Allah yang ada di alam semesta ini untuk kesejahteraan hidupnya. Tetapi jika program KB itu dimaksudkan sebagai usaha pengaturan/panjarangan kelahiran, atau mencegah usaha kehamilan sementara atau untuk selamanya, sehubungan dengan situasi dan kondisi khusus, baik untuk kepentingan keluarga yang bersangkutan, masyarakat dan negara, tidak dilarang oleh agama. misalnya suami dan atau istri menderita penyakit berbahaya yang bisa menurun kepada keturunannya.32
Pendapat Saltut tersebut yang banyak diikuti oleh ulama Indonesia dalam hal program Keluarga Berencana (KB). Walaupun sebenarnya pemerintah dalam program KB-nya cenderung pula untuk membatasi jumlah anak dalam satu keluarga, bahkan kurang dari tiga. Dan penulis dalam memandang persolan tersebut lebih suka diserahkan kepada masing-masing individu, apakah mau menerima atau tidak. Bisa dikatakan bahwa itu masuk dalam kategori ijtihad fardi, masalah-masalah yang bisa dilakukan ijtihad secara individu/sendiri.
Penulis berpendirian bahwa istri memiliki hak untuk mengatur hamil/kelahiran dan suami harus menghormati itu sebagai jaminanya atas keselamatan dan kesehatan istrinya. Selanjutnya pembahasan tentang perawatan anak. Pertanyaan mendasar yang timbul adalah, siapa yang berkewajiban penuh dalam perawatan anak? Ibu, yang dalam pandangan stereotype adalah makhluk domestik, sehingga urusan rumah tangga termasuk merawat anak adalah bebannya? atau Ayah, yang secara normatif dipandang al-Qur’an sebagai pemilik anak? atau kedua-duanya, sebagai tanggung jawab kolektif di dalam rumah tangga. Jika pilihannya adalah yang ketiga (ayah dan ibu bertanggung jawab secara seimbang dan adil), bagaimana mekanisme yang harus dijalankan? bukankah ayah adalah penanggung jawab nafkah keluarga, sehingga tentu sibuk dengan peran-peran publik?
Dalam pandangan fiqih konvensional, penisbahan anak adalah sepenuhnya kepada ayahnya, termasuk dalam soal perawatan, ayahlah yang paling bertanggung jawab. Walaupun sekarang setelah masyarakat mengalami transformasi, pandangan sentralisme anak kepada ayahnya sedikit bergeser. Peran ibu menjadi signifikan dalam hal ini, dan ini berkaitan dengan tugas reproduksi pada diri ibu yang tidak bisa digantikan oleh suami manapun.33 Sehingga secara spikologis anak cenderung lebih dekat kepada ibu, dan adalah salah paham juga ketika fenomena seperti ini dipakai sebagai alasan bagi seorang ayah untuk tidak mau tahu terhadap urusan anak.34
Al-Qur’an memberikan hak kepada kedua orang tua terhadap anaknya secara sama untuk melimpahkan perasaan kasih sayangnya. Ibu, misalnya, dia diberi hak oleh Allah untuk melakukan pekerjaan menyusui anaknya, sebagaimana yang Dia firmankan dalam al-Qur’an: 35
Imam malik berpendapat, kewajiban menyusui anak bagi ibu lebih merupakan kewajiban moral (dinyatakan) dari pada kewajiban formal (legal). Artinya kalau ibu tidak mau melakukanya, suami atau pengadilan sekalipun tidak berhak untuk memaksanya. Senada dengan imam Malik, para ulama dari kalangan mazhab Hanafi, Syafi’i, Hambali dan sebagian pengikut Maliki berpendapat, bahwa menyusui anak oleh sang ibu itu hanya bersifat mandub (sebaiknya). Kecuali kalau si anak menolak susuan selain susu ibu, atau ayah tidak sanggup membayar upah ibu susuan, maka menjadi wajib bagi ibu untuk menyusuinya.36
Ketentuan formal fiqih yang “membebaskan’ ibu dari kewajiban menyusui, lebih dimaknainya sebagai penghormatan yang begitu tinggi terhadap ibu, yang secara empiris menanggung beban reproduksi yang begitu berat. Walaupun realitas di dalam masyarakat tidak memungkinkan, misalnya, seorang ibu tega untuk tidak menyusui anaknya selama dia mampu.
Yang penting, bahwa beban perawatan anak dibebankan secara kolektif antara ibu dan ayah. Jangan sampai satu pihak merasa lebih diberatkan daripada yang lainnya. Ibu karena secara kodrati mempunyai kemampuan untuk menyusui, maka tugas itu dalam bidang ibu, sementara ayah harus mengambil alih tugas-tugas perawatan yang lain. Jadi tidak semua dikerjakan oleh ibu sementara ayah tidak mau tahu dengan alasan apapun.
Sebagai perbandingan akan penyusun sampaikan pendapat Amina Wadud Muhsin,seorang feminis dari Malaysia dalam hal ini :
Kecenderungan yang selalu terjadi untuk menyerahkan segaka bentuk pengasuhan anak - dan selanjutnya semua pekerjaan rumah - bagi para wanita. Meskipun pembagian ini cocok bagi sebagian keluarga, namun juka sang ayah mencari nafkah di luar rumah untuk mencukupi kebutuhan material keluarganya, tetapi itu bukanlah jalan keluar dan tidak disebutkan secara eksplisit dalan al-Qur’an.
Dalam keluarga yang suami dan istri keduanya sama-sama menanggung beban emncari nafkah guna mencukupi kebutuhan keluarga, adalah tidak adil jika hanya wanita saja yang harus mengurus semua pekerjaan rumah. Jika wanita berusaha meningkatkan amal salehnya, maka terdapat kesempatanserupa bagi kaum pria untuk meningkatkan partisipasinya lebih banyak lewat pekerjaan rumah dan mengasuh anak. Di samping itu sistem penilaian al-Qur’an terhadap amal saleh tidak memandang apakah laki-laki atau perempuan yang melakukannya : “ Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh baik ia laki-laki atau perempuan sedang ia orang beriman, maka mereka itu masuk surga … ( Q.S. 4 4: 124)
Sistem kerjasama yang fleksibel, terpadu dan dinamis dari kerjasama saling menguntungkan seperti itu amat sangat bermanfaat dalam berbagai ragam masyarakat dan keluarga.37
Dalam keadaan normal, keluarga masih utuh (tidak terjadi perceraian), sistem pembagian kerja yang proporsional antara ayah dan ibu dapat dilaksanakan demikian. Tetapi bagaimana jika dalam keluarga tersebut terjadi perceraian, dimana seorang ayah berpisah dengan istrinya. Siapa yang paling berhak dalam melakukan perawatan terhadap anak ?
Dalam kasus demikian, ibulah yang memiliki hak pertama-tama merawat anak. Alasannya adalah, pertama, karena sebagi ibu ikatan batindan kasih sayang dengan anak cenderung selalu melebihi kasih sayang sang ayah. Kedua, derita keterpisahan seorang ibu dengan anaknya akan terasa lebih berat dibanding derita keterpisahan seorang ayah. Ketiga, sentuhan tangan keibuan yang lazimnya dimiliki oleh ibu akan lebih menjamin pertumbuhan mentalitas anak secara lebih sehat.
Tentang biaya perawatan, yang terdiri atas makanan, pakaian, obat-obatan, dan kebutuhan-kebutuhan lain, termasuk di dalamnya biaya pembantui dalam merawat anak dan biaya pendidikan tetap menjadi tanggung jawab ayah.
Hikmah lebih luas atas pembagian tugas secara adil tersebut antara lain adalah terbukanya kesempatan bagi perempuan (istri) untuk mengembangkan potensinya lewat kiprahnya dalam kehidupan sosial. Apakah di bidang sosial, ekonomi, keagamaan, politik, budaya dan bidang-bidang lainnya. Dengan demikian runtuhlah mitos yang mengatakan bahwa perempuan adalah makhluk domestik yang terpuruk hanya dalam dinding rumahnya, bahkan tidak jarang hanya sebatas ruang-ruang dapur dan kamar tidurnya.
Sumber : Hak-hak perempuan dalam perkawinan:Perspektif kesetaraan laki-laki dan perempuan Dalam Islam *), Oleh : Anjar Nugroho, S.Ag., MSI **)
*) Makalah disampaikan dalam acara TOT yang diselenggarakan oleh PD NA Kab. Banyumas pada tanggal 15 April 2007 di Panti Asuhan Putri Muhammadiyah.
**) Penulis adalah staf pengajar Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Ymt. Ketua Majlis Tarjih dan Tajdid PDM Banyumas
REFERENSI
29 Al-Baqarah (2) : 233
30 Masdar Farid Mas’udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi …, hlm. 124-125
31 Program Keluarga Berencana (KB) di Inonesia adalah bentuk intervensi negara dalam urusan pengaturan jumlah keluarga. Perdebatan para ulama tentang KB sempat ramai pada awal-awal pencanangan program tersebut bahkan sampai sekarang. sebaliknya di Singapura, bukan program pembatasan kelahiran, tetapi malahan program memperbanyak keturunan.
32 Mahmûd Saltut, Al-Fatâwâ, (Mesir : Dâr al-Qalam, t.t.), hlm. 294-297
33 Ibid., hlm. 145
34 Sistem yang umum diterapkan sebagian besar masyarakat telah mennetukan bahwa kewajiban merawat anak lebih tepat dilakukan oleh kaum perempuan (istri). Kecenderungan akan hal ini dalam berbagai keluarga dan banyaknya wanita yang memiliki sifat feminin dan cenderung suka mengasuh, telah menguatkan ketentuan buatan laki-laki. Dan menjadikan kewajiban merawat anak seolah-olah kewajiban yang melekat (hakiki) pada perempuan (istri). Amina W. Muhsin, Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam Al-Qur’an, Alih bahasa oleh Yaziar Radianti, (Bandung : Pustaka, cet I, 1994) , hlm. 121
35 Al-Baqarah (2) : 233
36 Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adilatuhu, (Damaskus : Dâr al- Fikr, 1989), hlm. 699
37 Amina W.Muhsin, Wanita di dalam al-Qur’an, …, hlm. 121-122
Available on : www.pemikiranislam.wordpress.com/ desember 2007
Kesehatan Reproduksi & HIV/AIDS
Kunjungi grup ini
Mempunyai anak tentu adalah sesuatu yang sangat didambakan oleh sebuah keluarga (pasangan suami istri). Walaupun adakalanya, karena kehendak Allah (taqdir), pasangan suami istri tidak mampu untuk memiliki anak. Apa karena salah satu dari keduanya atau kedua-duanya mandul, atau anak yang sudah lahir meninggal. Rasulullah sendiri dari perkawinan dengan istri-istrinya, hanya berhasil menurunkan keturunan dari seorang putrinya, yakni Fatimah. sementara putra-putra beliau yang lain tidak memberi keturunan, bahkan meninggal dunia waktu masih kecil.
Akan tetapi, dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, pasangan suami istri berkehendak untuk menunda kehamilan/kelahiran anak. Penulis menandang, bahwa persoalan tersebut dapat diselesaikan dengan tidak melakukan hubungan seksual, misalnya, atau dalam melakukan hubungan seksual dengan alat pencegah kehamilan (kontrasepsi). Tetapi yang yang menjadi persoalan krusial adalah siapakah yang berhak memutuskan untuk melakukan atau tidak rekayasa keturunan (anak) itu; suami atau istri, atau keduanya?
Terdapat setidaknya empat pendapat, seperti yang dikutip dari pendapat Syaikh Mahmûd Syaltut. Pertama, pendapat yang dikemukakan oleh al-Gazâli dari kalangan mazhab Syafi’i, mengatakan bahwa yang berhak memutuskan untuk punya anak (lagi) atau tidak adalah suami/ayah. Konsekwensinya, jika suami menghendaki anak, istri tidak berhak apa-apa selain menuruti kemauannya Dasarnya adalah ayat al-Qur’an sendiri yang menyebut anak sebagai milik bapak.29
Kedua, pendapat yang banyak dianut oleh ulama Hanafiah mengatakan bahwa yang berhak menentukan apakah akan mempunyai anak atau tidak adalah keduanya, suami dan istri. Dasarnya adalah bahwa soal anak tidak mungkin terwujud tanpa partisipasi dari kedua belah pihak. Asal usulnya pun berakar dari sperma suami dan ovum istri. Hadis Rasulullah yang mewajibkan anak untuk melipatgandakan baktinya kepada kedua orang tua, bahkan terutama ibu, bisa menguatkan pendapat ini. Dengan demikian untuk punya anakn atau tidak, pendapat berdualah yang berbicara, terutama istri.
Ketiga, bahwa menentukan keturunan bukan hanya hak suami istri, melainkan juga umat/masyarakat dengan penekanan kepada keputusan suami istri. Kalangan ulama Hambali dan sebaian ulama syafi’iyah menganut pendapat seperti ini. Artinya, kebutuhan akan kemaslahatan masyarakat perlu diperhitungkan bagi pasangan suami istri untuk menentukan apakah akan merekayasa (membuat atau membatasi) keturunan atau tidak.
Keempat, yang banyak dianut oleh ahli hadis, hampir sama dengan pendapat ketiga, tetapi dengan titik berat kepada pertimbangan kemaslahatan umat/masyarakat. Artinya, meskipun pasangan suami istri menghendaki atau tidak keturunan/anak akan tetapi kemaslahatan umum memutuskan lain, maka yang harus dimenangkan adalah kemaslahatan umum tersebut.30
Dalam kondisi masyarakat dewasa ini, penulis cenderung kapada pendapat yang ketiga. Dalam arti bahwa urusan kelahiran adalah semata-mata urusan keluarga (suami istri), lebih khusus lagi adalah urusan istri, karena dialah yang pihak yang paling bersangkutan dengan masalah kehamilan dan kelahiran. Akan tetapi dalam keadaan tertentu, negara berhak melakukan intervensi dengan pertimbangan-pertimbangan kemaslahatan umum.31
Mahmûd Saltut berpendapat, bahwa kalau program KB itu dimaksudkan sebagai usaha pembatasan anak, dalam jumlah tertentu, misalnya hanya tiga anak untuk setiap keluarga dalam segala situasi dan kondisi tanpa kecuali, maka hal tersebut bertentangan dengan syari’at Islam, hukum alam dan hikmah Allah menciptakan manusia di tengah-tengah alam semesta ini agar berkembang biak dan dapat memanfaatkan karunia Allah yang ada di alam semesta ini untuk kesejahteraan hidupnya. Tetapi jika program KB itu dimaksudkan sebagai usaha pengaturan/panjarangan kelahiran, atau mencegah usaha kehamilan sementara atau untuk selamanya, sehubungan dengan situasi dan kondisi khusus, baik untuk kepentingan keluarga yang bersangkutan, masyarakat dan negara, tidak dilarang oleh agama. misalnya suami dan atau istri menderita penyakit berbahaya yang bisa menurun kepada keturunannya.32
Pendapat Saltut tersebut yang banyak diikuti oleh ulama Indonesia dalam hal program Keluarga Berencana (KB). Walaupun sebenarnya pemerintah dalam program KB-nya cenderung pula untuk membatasi jumlah anak dalam satu keluarga, bahkan kurang dari tiga. Dan penulis dalam memandang persolan tersebut lebih suka diserahkan kepada masing-masing individu, apakah mau menerima atau tidak. Bisa dikatakan bahwa itu masuk dalam kategori ijtihad fardi, masalah-masalah yang bisa dilakukan ijtihad secara individu/sendiri.
Penulis berpendirian bahwa istri memiliki hak untuk mengatur hamil/kelahiran dan suami harus menghormati itu sebagai jaminanya atas keselamatan dan kesehatan istrinya. Selanjutnya pembahasan tentang perawatan anak. Pertanyaan mendasar yang timbul adalah, siapa yang berkewajiban penuh dalam perawatan anak? Ibu, yang dalam pandangan stereotype adalah makhluk domestik, sehingga urusan rumah tangga termasuk merawat anak adalah bebannya? atau Ayah, yang secara normatif dipandang al-Qur’an sebagai pemilik anak? atau kedua-duanya, sebagai tanggung jawab kolektif di dalam rumah tangga. Jika pilihannya adalah yang ketiga (ayah dan ibu bertanggung jawab secara seimbang dan adil), bagaimana mekanisme yang harus dijalankan? bukankah ayah adalah penanggung jawab nafkah keluarga, sehingga tentu sibuk dengan peran-peran publik?
Dalam pandangan fiqih konvensional, penisbahan anak adalah sepenuhnya kepada ayahnya, termasuk dalam soal perawatan, ayahlah yang paling bertanggung jawab. Walaupun sekarang setelah masyarakat mengalami transformasi, pandangan sentralisme anak kepada ayahnya sedikit bergeser. Peran ibu menjadi signifikan dalam hal ini, dan ini berkaitan dengan tugas reproduksi pada diri ibu yang tidak bisa digantikan oleh suami manapun.33 Sehingga secara spikologis anak cenderung lebih dekat kepada ibu, dan adalah salah paham juga ketika fenomena seperti ini dipakai sebagai alasan bagi seorang ayah untuk tidak mau tahu terhadap urusan anak.34
Al-Qur’an memberikan hak kepada kedua orang tua terhadap anaknya secara sama untuk melimpahkan perasaan kasih sayangnya. Ibu, misalnya, dia diberi hak oleh Allah untuk melakukan pekerjaan menyusui anaknya, sebagaimana yang Dia firmankan dalam al-Qur’an: 35
Imam malik berpendapat, kewajiban menyusui anak bagi ibu lebih merupakan kewajiban moral (dinyatakan) dari pada kewajiban formal (legal). Artinya kalau ibu tidak mau melakukanya, suami atau pengadilan sekalipun tidak berhak untuk memaksanya. Senada dengan imam Malik, para ulama dari kalangan mazhab Hanafi, Syafi’i, Hambali dan sebagian pengikut Maliki berpendapat, bahwa menyusui anak oleh sang ibu itu hanya bersifat mandub (sebaiknya). Kecuali kalau si anak menolak susuan selain susu ibu, atau ayah tidak sanggup membayar upah ibu susuan, maka menjadi wajib bagi ibu untuk menyusuinya.36
Ketentuan formal fiqih yang “membebaskan’ ibu dari kewajiban menyusui, lebih dimaknainya sebagai penghormatan yang begitu tinggi terhadap ibu, yang secara empiris menanggung beban reproduksi yang begitu berat. Walaupun realitas di dalam masyarakat tidak memungkinkan, misalnya, seorang ibu tega untuk tidak menyusui anaknya selama dia mampu.
Yang penting, bahwa beban perawatan anak dibebankan secara kolektif antara ibu dan ayah. Jangan sampai satu pihak merasa lebih diberatkan daripada yang lainnya. Ibu karena secara kodrati mempunyai kemampuan untuk menyusui, maka tugas itu dalam bidang ibu, sementara ayah harus mengambil alih tugas-tugas perawatan yang lain. Jadi tidak semua dikerjakan oleh ibu sementara ayah tidak mau tahu dengan alasan apapun.
Sebagai perbandingan akan penyusun sampaikan pendapat Amina Wadud Muhsin,seorang feminis dari Malaysia dalam hal ini :
Kecenderungan yang selalu terjadi untuk menyerahkan segaka bentuk pengasuhan anak - dan selanjutnya semua pekerjaan rumah - bagi para wanita. Meskipun pembagian ini cocok bagi sebagian keluarga, namun juka sang ayah mencari nafkah di luar rumah untuk mencukupi kebutuhan material keluarganya, tetapi itu bukanlah jalan keluar dan tidak disebutkan secara eksplisit dalan al-Qur’an.
Dalam keluarga yang suami dan istri keduanya sama-sama menanggung beban emncari nafkah guna mencukupi kebutuhan keluarga, adalah tidak adil jika hanya wanita saja yang harus mengurus semua pekerjaan rumah. Jika wanita berusaha meningkatkan amal salehnya, maka terdapat kesempatanserupa bagi kaum pria untuk meningkatkan partisipasinya lebih banyak lewat pekerjaan rumah dan mengasuh anak. Di samping itu sistem penilaian al-Qur’an terhadap amal saleh tidak memandang apakah laki-laki atau perempuan yang melakukannya : “ Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh baik ia laki-laki atau perempuan sedang ia orang beriman, maka mereka itu masuk surga … ( Q.S. 4 4: 124)
Sistem kerjasama yang fleksibel, terpadu dan dinamis dari kerjasama saling menguntungkan seperti itu amat sangat bermanfaat dalam berbagai ragam masyarakat dan keluarga.37
Dalam keadaan normal, keluarga masih utuh (tidak terjadi perceraian), sistem pembagian kerja yang proporsional antara ayah dan ibu dapat dilaksanakan demikian. Tetapi bagaimana jika dalam keluarga tersebut terjadi perceraian, dimana seorang ayah berpisah dengan istrinya. Siapa yang paling berhak dalam melakukan perawatan terhadap anak ?
Dalam kasus demikian, ibulah yang memiliki hak pertama-tama merawat anak. Alasannya adalah, pertama, karena sebagi ibu ikatan batindan kasih sayang dengan anak cenderung selalu melebihi kasih sayang sang ayah. Kedua, derita keterpisahan seorang ibu dengan anaknya akan terasa lebih berat dibanding derita keterpisahan seorang ayah. Ketiga, sentuhan tangan keibuan yang lazimnya dimiliki oleh ibu akan lebih menjamin pertumbuhan mentalitas anak secara lebih sehat.
Tentang biaya perawatan, yang terdiri atas makanan, pakaian, obat-obatan, dan kebutuhan-kebutuhan lain, termasuk di dalamnya biaya pembantui dalam merawat anak dan biaya pendidikan tetap menjadi tanggung jawab ayah.
Hikmah lebih luas atas pembagian tugas secara adil tersebut antara lain adalah terbukanya kesempatan bagi perempuan (istri) untuk mengembangkan potensinya lewat kiprahnya dalam kehidupan sosial. Apakah di bidang sosial, ekonomi, keagamaan, politik, budaya dan bidang-bidang lainnya. Dengan demikian runtuhlah mitos yang mengatakan bahwa perempuan adalah makhluk domestik yang terpuruk hanya dalam dinding rumahnya, bahkan tidak jarang hanya sebatas ruang-ruang dapur dan kamar tidurnya.
Sumber : Hak-hak perempuan dalam perkawinan:Perspektif kesetaraan laki-laki dan perempuan Dalam Islam *), Oleh : Anjar Nugroho, S.Ag., MSI **)
*) Makalah disampaikan dalam acara TOT yang diselenggarakan oleh PD NA Kab. Banyumas pada tanggal 15 April 2007 di Panti Asuhan Putri Muhammadiyah.
**) Penulis adalah staf pengajar Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Ymt. Ketua Majlis Tarjih dan Tajdid PDM Banyumas
REFERENSI
29 Al-Baqarah (2) : 233
30 Masdar Farid Mas’udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi …, hlm. 124-125
31 Program Keluarga Berencana (KB) di Inonesia adalah bentuk intervensi negara dalam urusan pengaturan jumlah keluarga. Perdebatan para ulama tentang KB sempat ramai pada awal-awal pencanangan program tersebut bahkan sampai sekarang. sebaliknya di Singapura, bukan program pembatasan kelahiran, tetapi malahan program memperbanyak keturunan.
32 Mahmûd Saltut, Al-Fatâwâ, (Mesir : Dâr al-Qalam, t.t.), hlm. 294-297
33 Ibid., hlm. 145
34 Sistem yang umum diterapkan sebagian besar masyarakat telah mennetukan bahwa kewajiban merawat anak lebih tepat dilakukan oleh kaum perempuan (istri). Kecenderungan akan hal ini dalam berbagai keluarga dan banyaknya wanita yang memiliki sifat feminin dan cenderung suka mengasuh, telah menguatkan ketentuan buatan laki-laki. Dan menjadikan kewajiban merawat anak seolah-olah kewajiban yang melekat (hakiki) pada perempuan (istri). Amina W. Muhsin, Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam Al-Qur’an, Alih bahasa oleh Yaziar Radianti, (Bandung : Pustaka, cet I, 1994) , hlm. 121
35 Al-Baqarah (2) : 233
36 Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adilatuhu, (Damaskus : Dâr al- Fikr, 1989), hlm. 699
37 Amina W.Muhsin, Wanita di dalam al-Qur’an, …, hlm. 121-122
Available on : www.pemikiranislam.wordpress.com/ desember 2007
Kesehatan Reproduksi & HIV/AIDS
Kunjungi grup ini
height=26 width=132 alt="Google Groups"> |
Kesehatan Reproduksi & HIV/AIDS |
Kunjungi grup ini |
Label:
religi reproduksi wanita
Langganan:
Postingan (Atom)